Bolehkah Suami

Pertimbangan dalam agama Islam

Dalam agama Islam, gugatan cerai dibagi menjadi dua istilah: fasakh dan khuluk. Fasakh adalah lepasnya ikatan nikah antara suami istri, di mana istri tidak mengembalikan maharnya atau memberikan kompensasi pada suaminya.

Sementara khuluk adalah pengajuan talak oleh istri, namun ia perlu mengembalikan sejumlah harta atau maharnya kepada suami. Sedikit berbeda dari talak, tidak ada rujuk dalam khuluk.

Lihat perubahan sikap suami

Sebelum meminta cerai, perhatikan dulu bagaimana sikap suami setelah ketahuan selingkuh. Apakah ada perubahan menuju arah lebih baik atau penyesalan yang mendalam? Bisa jadi selingkuh terjadi sesaat dan suami sebenarnya masih ingin melanjutkan pernikahan, serta mau berkomitmen untuk tidak mengulanginya lho, Bunda.

Pada dasarnya setiap orang tidak suka dibohongi. Hati bisa menjadi sakit apabila dibohongi oleh orang lain, apalagi oleh suami sendiri. Sosok suami yang seharusnya membimbing dan memberikan contoh yang baik kepada istri dan anak-anak ternyata malah berkata dusta dan menimbulkan kekecewaan. Tentu sikap suami tersebut tidak terpuji dan tidak pantas untuk dilakukan.

Allah Swt. pun melarang manusia untuk berbohong. Hal tersebut ada dalam firman-Nya surah Al-Baqarah ayat 42 berikut ini:

“Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan atau (janganlah kamu) menyembunyikan kebenaran sedang kamu mengetahuinya.” (Q.S. Al-Baqaroh: 42).

Pembohong Adalah Orang Munafik

Di dalam Islam, orang yang suka berbohong disebut sebagai orang yang munafik. Hal tersebut disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini:

“Tanda orang munafik ada tiga, pertama apabila berbicara berbohong, lalu apabila berjanji mengingkari atau menyelisihi janji, dan apabila diberi amanah berkhianat.”

Di dalam surah At-Taubah ayat 68, Allah Swt. memberikan balasan yang berat bagi mereka yang munafik. Allah Swt. berfirman:

“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.”

Baca Juga: Bolehkah Istri Bersedekah dengan Harta Suami?

Berbohong yang Dibolehkan

Meskipun berbohong dilarang oleh agama Islam, akan tetapi ada kondisi-kondisi tertentu yang membolehkan seseorang untuk berbohong. Berbohong di sini bukan untuk kejahatan, akan tetapi untuk nilai-nilai kemaslahatan.

“Aku tidak menganggapnya sebagai seorang pembohong. (Pertama), seorang laki-laki yang memperbaiki hubungan antara manusia. Ia mengatakan suatu perkataan (bohong), namun ia tidak bermaksud dengan perkataan itu kecuali untuk mendamaikan. (Kedua), seorang laki-laki yang berbohong dalam peperangan. Dan (ketiga), seorang laki-laki yang berbohong kepada istri atau istri yang berbohong kepada suami (untuk kebaikan).” (H.R. Abu Daud).

Dalam hadis yang lain, dibahas pula soal ini. Rasul saw. bersabda:

“Ada seseorang yang datang menemui Nabi saw. dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku berdosa jika aku berdusta kepada istriku?’” Nabi saw. pun menjawab, “Tidak boleh, karena Allah Ta’ala tidak menyukai dusta.” Lalu orang itu pun bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, (dusta yang aku ucapkan itu karena) aku ingin berdamai dengan istriku dan aku ingin senangkan hatinya.” Kemudian Nabi saw menjawab, “Tidak ada dosa atasmu.” (H.R. Al-Humaidi. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam silsilah Ash-Shahihah).

Dari hadis di atas, contoh lainnya seorang suami diperbolehkan berbohong misalnya saat berbohong dengan makanan buatan istri. Karena suami ingin menyenangkan hati istrinya sekaligus menghargai masakan yang dibuat istrinya, maka suami berbohong mengatakan masakan istrinya enak.

Selain itu, contoh lainnya misalnya mengucapkan bahwa istrinya cantik dan menawan untuk membuat suasana hati sang istri membaik. Selama tidak untuk menipu dan berbohong untuk keburukan, maka tidak mengapa suami berbohong kepada istrinya.

Baca Juga: Kriteria Suami Saleh dalam Keluarga

Tidak Menjadikan Bohong Sebagai Kebiasaan

Meskipun berbohong untuk kebaikan itu dibolehkan, tetapi suami tidak boleh menjadikan berbohong sebagai kebiasaan. Misalnya, berbohong kepada istri ada pekerjaan di kantor sehingga harus pulang terlambat, padahal ia terlambat karena berkumpul dengan teman-temannya.

Berhati-hatilah karena berbohong untuk keburukan akan menggiring pelakunya kepada neraka.

Dari Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, sedangkan kebaikan menuntun menuju surga. Sungguh seseorang yang membiasakan jujur niscaya dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada kemungkaran, sedangkan kemungkaran menjerumuskan ke neraka. Sungguh orang yang selalu berdusta akan dicatat sebagai pendusta.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Itulah penjelasan tentang hukum dibolehkannya seorang suami berbohong kepada istri. Mudah-mudahan bisa menambah wawasan keislaman baru bagi Sahabat.

Jangan lupa untuk mengunjungi infak.id dari Rumah Zakat untuk menunaikan infak hariannya. Dengan berinfak, maka kita pun bisa membantu orang lain yang sedang kesulitan. Yuk, berinfak melalui infak.id!

Perasaan kamu tentang artikel ini ?

Saya telah menikah dalam Gereja Katolik selama 10 tahun. Baru-baru ini saya mendapati suami saya berselingkuh. Saya ingin menuntut cerai dari suami saya. Yang menjadi pertanyaan saya:

Dalam Gereja Katolik, kita tidak mengenal CERAI, sebab “Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Yang ada dalam Gereja Katolik dalam hal ini, adalah PEMBATALAN NIKAH.

Dalam hal ini, perlu ada hal-hal hakiki dalam perkawinan yang menyebabkan sahnya perkawinan, tidak ada! Umpama: adanya penipuan, paksaan (ketidak bebasan), adanya halangan hukum (dalam status tidak bebas – terikat oleh nikah resmi/kaul biara; usia, hubungan darah), adanya syarat yang bertentangan dengan iman Katolik, serta dokumen yang dibutuhklan tidak ada, akhirnya karena belum pernah mengadakan hubungan intim sebagai suami istri.

Tak perlu cerai, Pisah ranjang bisa –; untuk ini  perlu ada izin resmi dari Gereja. Entah yang mau menuntut cerai itu sang istri atau sang suami – baiknya sebelumnya berani memeriksa diri tentang hubungan personal dengan pasangannya yang sudah berjalan sepuluh tahun.

Seseorang berbuat selingkuh tentu ada sebab musababnya, biasanya tentu ada peristiwa yang mendahuluinya. Ada masalah fisik ada masalah psikologis! Kalau sang suami atau istri bosan sekali dengan pasangannya, atau merasa tak terpenuhi hasratnya sebagai pria dan wanita – yang sebenarnya berhak –, memang dia lalu mudah terjatuh dalam godaan, apalagi kalau ada yang ‘menawarkan dirinya’ mengobati kekecewaannya itu (ada pihak ketiga)!

Praktek ‘perselingkuhan‘ itu, kalau tidak disebabkan oleh pasangannya, juga dapat diteliti, apakah itu sudah terjadi terus sebelum perkawinan, adakah kelainan dalam sexualitasnya?

Kalau cerai, apakah boleh menerima Komuni? Masalahnya bukan hanya masalah hukum ‘boleh menerima komuni atau tidak kalau sudah bercerai’- , tetapi juga menjadi moral dan pastoral. Bagaimana nasib anak-anak yang telah terlahir. Tanggungjawab membesarkan anak-anak dan mendidik serta menanamkan nilai-nilai Kristiani, jauh lebih penting dan mendesak apakah seseorang yang cerai boleh menerima komuni atau tidak.

Mohon segera hubungi Romo Pembimbing Rohani anda, atau Pastor Paroki anda untuk berkonsultasi dengan beliau. Dan tentu saja sebelum anda berhak menyambut Sakramen Mahakudus, mau tidak mau perlu menyambut dahulu Sakramen Tobat.

Semoga, keluarga Pembaruan Karismatik Katolik (PKK), karena mengenal hakikat karismatik, dapat mengurangi kecenderungan untuk bercerai.

Rm Subroto Widjojo SJ

Saat suami ketahuan selingkuh, salah satu hal yang kerap langsung dipikirkan oleh istri adalah minta cerai. Tapi bolehkah istri minta cerai?

Paling penting, sebelum meminta cerai ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh istri. Terutama jika keluarga sudah dikaruniai oleh anak.

Seperti diketahui, kesehatan psikis dan masa depan anak masih sangat terpengaruh oleh orang tuanya. Jika perceraian tetap dilakukan dan tidak berakhir dengan baik, bukan tidak mungkin psikis anak bisa terganggu, Bunda.

Selain itu, faktor lain seperti ekonomi juga menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan sebelum istri minta cerai dari suami selingkuh.

Nah, berikut hal-hal yang perlu dipertimbangkan soal boleh atau tidaknya istri minta cerai pada suami yang selingkuh:

Pikirkan lagi faktor-faktor penting lainnya

Seperti disebutkan sebelumnya, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan istri sebelum minta cerai. Mulai dari kondisi psikis anak, hingga faktor ekonomi keluarga. Pikirkan matang-matang soal faktor ini sebelum memutuskan, supaya tidak membuat keputusan yang keliru ya, Bunda.

Berikan waktu untuk berpikir bagi diri sendiri, jika perlu libatkan konselor pernikahan. Jangan terburu-buru membuat keputusan cerai, karena efeknya justru bisa sangat mengganggu di kemudian hari.

Seperti dikutip dari Your Tango, ada baiknya Bunda juga memberikan waktu bagi suami untuk memberi penjelasan. Terutama jika ia sudah mengetahui niat cerai yang terpikirkan oleh Bunda. Ini penting guna melihat apakah masih ada niat meneruskan pernikahan dari sisi suami.

Pertimbangkan baik-baik sebelum meminta cerai ya, Bunda!

Simak juga video hikmah perceraian di mata Kirana Larasati:

[Gambas:Video Haibunda]

Pada dasarnya, manusia cenderung merasa tidak nyaman dengan kebohongan. Kebohongan, seperti yang dilakukan oleh pasangan suami dan istri, tentu saja bisa menimbulkan luka hati selain dapat merenggangkan hubungan keduanya.

Namun, dalam kehidupan sehari-hari, sering ditemui fenomena suami berbohong kepada istri seperti memberikan pujian yang tidak sepenuhnya jujur mengenai kualitas masakan yang dimasak oleh istri. Bohong ini dilakukan oleh suami untuk menyenangkan hati sang istri dan menghargai usaha yang telah dilakukannya. Contoh lain adalah seperti suami memuji kecantikan istri untuk meningkatkan suasana hati pasangannya.

Lantas, bolehkah suami berbohong demi menyenangkan hati istri?

Dalam Islam, berbohong dikategorikan sebagai perbuatan dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap orang. Meski demikian, terdapat beberapa pandangan yang memberikan pengecualian terhadap larangan berbohong terutama dalam situasi darurat yang mengharuskan tindakan tersebut.

Ada beberapa kondisi di mana berbohong dibolehkan. Misalnya, tatkala seseorang ingin mendamaikan orang yang berselisih, atau suami-istri berbohong untuk menjaga hubungan mereka. Selain itu, dalam perang pasukan juga diperbolehkan untuk berbohong demi mengelabui musuh. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits:

لَا يَحِلُ الْكَذِبُ إِلاَّ فِيْ ثَلَاثٍ: يُحَدِّثُ الْرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيْهَا، وَالْكَذِبُ فِيْ الْحَرْبِ، وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ الْنَّاسِ

Artinya: “Tidak halal (tidak boleh) berbohong kecuali dalam tiga kondisi: (Bohong) seorang suami yang berbicara kepada istrinya untuk menyenangkannya, bohong dalam peperangan dan bohong untuk mendamaikan manusia (yang berselisih).” (H.R. At-Tirmidzi)

Berdasar pada hadits ini, para ulama kemudian menyatakan bahwa perbuatan bohong yang dilakukan suami demi menyenangkan hati istri dan menjaga ikatan rumah tangga hukumnya diperbolehkan. Hal ini sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari (wafat 987 H) dalam kitabnya:

فَائِدَةٌ: الْكَذِبُ حَرَامٌ وَقَدْ يَجِبُ كَمَا إِذَا سَأَلَ ظَالِمٌ عَنْ وَدِيْعَةٍ يُرِيْدُ أَخْذَهَا فَيَجِبُ إِنْكَارُهَا وَإِنْ كَذَبَ وَلَهُ الْحَلْفُ عَلَيْهِ مَعَ التَّوْرِيَةِ وَإِذَا لَم يُنْكِرْهَا وَلَمْ يَمْتَنِعْ مِنْ إِعْلَامِهِ بِهَا جُهْدَهُ ضَمِنَ وَكَذَا لَوْ رَأَى مَعْصُوْمًا اِخْتَفَى مِنْ ظَالِمٍ يُرِيْدُ قَتْلَهُ وَقَدْ يَجُوْزُ كَمَا إِذَا كَانَ لَا يَتِمُّ مَقْصُوْدُ حَرْبٍ وَإِصْلَاحِ ذَاتِ الْبَيِّنِ وَإِرْضَاءِ زَوْجَتِهِ إِلَّا بِالْكَذِبِ فَمُبَاحٌ

Artinya: “Faidah: Berbohong adalah haram, namun terkadang bisa menjadi wajib seperti ketika seorang zalim bertanya tentang suatu harta titipan yang ingin diambilnya, maka wajib untuk mengingkari adanya harta tersebut meskipun dengan berbohong, dan boleh untuk bersumpah demi kebohongan tersebut dengan menggunakan mekanisme tertentu. Jika seseorang tidak menolak dan tidak berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikannya, maka ia berkeharusan untuk mengganti rugi. Demikian pula, jika seseorang melihat orang yang terjaga (iman) yang bersembunyi dari seorang zalim yang hendak membunuhnya, maka hal itu bisa dibolehkan. Terutama jika tujuan perang, perdamaian, atau menyenangkan istri tidak dapat dicapai kecuali dengan berbohong, maka hal tersebut hukumnya diperbolehkan.” (Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fath Al-Mu’in Bi Syarh Qurrah Al-Ain Bi Muhimmat Ad-Din [Beirut: Dar Ibn Hazm], vol. 1, h. 442)

Kendati dalam situasi tertentu berbohong dibolehkan, akan tetapi suami perlu ingat bahwa kebiasaan berbohong tidak boleh dijadikan sebagai kebiasaan karena dapat merusak terhadap kepercayaan dalam sebuah hubungan. Oleh karena itu, tindakan berbohong tidak dapat dilakukan secara sembarangan.

Imam Al-Ghazali (wafat 505 H) telah menetapkan tiga batasan khusus terkait kondisi di mana kebohongan dapat dibenarkan:

الْكَلَامُ وَسِيْلَةٌ إِلَى الْمَقَاصِدِ فَكُلُّ مَقْصُوْدٍ مَحْمُوْدٍ يُمْكِنُ الْتَّوَصُلُ إِلَيْهِ بِالْصِّدْقِ وَالْكَذِبِ جَمِيْعًا فَالْكَذِبُ فِيْهِ حَرَامٌ وَإِنْ أَمْكَنَ الْتَّوَصُلُ إِلَيْهِ بِالْكَذِبِ دُوْنَ الْصِّدْقِ فَالْكَذِبُ فِيْهِ مُبَاحٌ إِنْ كَانَ تَحْصِيْلُ ذَلِكَ الْقَصْدُ مُبَاحًا وَوَاجِبٌ إِنْ كَانَ الْمَقْصُوْدُ وَاجِبًا

Artinya: “Bahasa merupakan perantara untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan yang baik dapat dicapai melalui ucapan yang jujur maupun bohong. Namun, berbohong tetap diharamkan apabila tidak ada kebutuhan yang mendesak. Bila suatu tujuan mulia dapat tercapai melalui kebohongan, dan tidak dapat dicapai melalui kejujuran, maka kebohongan tersebut dapat dibenarkan asalkan tujuan akhirnya juga benar, bahkan menjadi wajib jika tujuan tersebut merupakan suatu kewajiban.” (Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Ihya Ulumiddin [Beirut: Dar Al-Ma’rifah], vol. 3, h. 137)

Batasan-batasan yang telah dijelaskan menunjukkan bahwa kebohongan dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan yang mubah asalkan tujuannya itu tidak dapat dicapai melalui kejujuran. Lebih lanjut, jika tujuan yang ingin dicapai merupakan kewajiban dan tidak dapat terpenuhi tanpa kebohongan, maka kebohongan tersebut menjadi wajib.

Imam An-Nawawi (wafat 676 H) kemudian menambahkan beberapa syarat tambahan sebagai berikut:

يَنْبَغِيْ أَنْ يُقَابِلَ بَيْنَ مَفْسَدَةَ الْكَذِبِ وَالْمَفْسَدَةِ الْمُتَرَتَّبَةِ عَلَى الْصِّدْقِ، فَإِنْ كَانَتْ الْمَفْسَدَةُ فِيْ الْصِّدْقِ أَشَدُّ ضَرَرًا، فَلَهُ الْكَذِبُ، وَإِنْ كَانَ عَكْسُهُ، أَوْ شَكَّ، حَرُمَ عَلَيْهِ الْكَذِبُ، وَمَتَى جَازَ الْكَذِبُ، فَإِنْ كَانَ الْمُبِيْحُ غَرَضًا يَتَعَلَّقُ بِنَفْسِهِ، فَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يَكْذِبَ، وَمَتَى كَانَ مُتَعَلِقًا بِغَيْرِهِ، لَمْ تَجُزْ الْمُسَامَحَةُ بِحَقِّ غَيْرِهِ، وَالْجَزْمُ تَرْكُهُ فِيْ كُلِّ مَوْضِعٍ أُبِيْحَ، إِلَّا إِذَا كَانَ وَاجِبًا

Artinya: “Seyogyanya dilakukan perbandingan antara keburukan dari berbohong dan keburukan yang timbul akibat berkata jujur. Jika keburukan dari berkata jujur lebih besar, maka diperbolehkan untuk berbohong. Namun, jika sebaliknya atau terdapat keraguan, maka berbohong tersebut menjadi haram. Lalu kapan berbohong diperbolehkan? Jika tujuannya hanya untuk kepentingan pribadi dan tidak melibatkan hak orang lain, maka sebaiknya tetap hindari kebohongan. Namun, jika berkaitan dengan hak orang lain, jangan mempermudah kebohongan yang menyentuh hak mereka. Tetaplah berpegang teguh untuk tidak berbohong pada hal-hal yang hanya mubah, tetapi jika berhubungan dengan hal yang wajib, maka berbohong hukumnya diperbolehkan.” (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawi [Beirut: Dar Al-Fikr], h. 378)

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa hukum seorang suami berbohong kepada istrinya dalam kondisi tertentu, misalnya untuk menyenangkan hati istri atau menjaga keharmonisan rumah tangga adalah diperbolehkan. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa tindakan berbohong ini hanya dibenarkan dengan batasan dan dalam situasi-situasi khusus serta tidak boleh dijadikan sebagai suatu kebiasaan.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ustadz, saya ingin bertanya.

Jika istri tidak mampu bersikap ridho dengan perlakuan kasar suami, lantas berdosakah jika istri meminta cerai, meskipun sekarang si suami sudah berjanji untuk berusaha mengubah sikap atau perlakuan kasarnya tersebut?

(Dari Ibu Iid di Lubuk Linggau Anggota Grup WA Bimbingan Islam T04-08 )

وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته

Terima kasih kepada Ibu Iid yang telah bertanya.

Boleh meminta Khulu’ apabila suami bersikap kasar. Namun ahsan memberikan kesempatan untuk berubah apalagi terkait anak.

KAPAN ISTRI BOLEH MINTA CERAI?

Berapa lalu saya dikejutkan dengan sebuah pertanyaan :

Afwan Ustadz . Mengganggu, teman ana punya problem…..setelah 17 tahun berumah tangga dan sudah mempunyai 1 anak (itupun dengan susah payah karena harus melalui pengobatan baru punya anak qodarolloh). Tapi itu tidak masalah. Berjalannya waktu seorang istri minta cerai dengan alasan karena suaminya jelek tapi akhlak dan agamanya lumayan,sehingga istri itu memenuhi hak suamipun jadi tidak ikhlas dll. (itu juga setelah adanya teman-teman yg ngomong dan sekarang sedang berhubungan sms-an dengan seorang laki-laki lain). Dia dengerin seorang ustadz berkata cerai dengan alasan jelek boleh walaupun akhlak dan agamanya baik, tapi harus mengembalikan maharnya

Diantara indahnya syari’at Islam adalah memberi jalan keluar bagi pasangan suami istri jika mereka memang tidak bisa memperoleh kebahagiaan dan kasih sayang diantara mereka. Diantara jalan keluar yang diberikan syari’at adalah perceraian, yang berada ditangan para lelaki (karena para lelakilah yang membayar mahar, biaya pernikahan, serta menanggung nafkah keluarga), akan tetapi tentu dengan persyaratan yang diletakan oleh Syari’at. Syari’at tidak menjadikan perceraian di tangan para wanita, karena secara umum kaum lelaki lebih berpikir panjang dan lebih stabil dalam mengambil keputusan. Berbeda dengan para wanita yang sering mengalami kondisi yang bisa merubah pola berfikirnya, seperti tatkala kondisi haid, atau tatkala mengandung, dan lain-lain, sehingga terkadang perasaan lebih didahulukan dari pada pikiran.

Para lelaki pun tidak dianjurkan untuk langsung beranjak ke jenjang perceraian kecuali setelah berusaha dan berusaha…, baik berusaha menasehati istri, atau melalu jalur islah (usaha damai) dari perwakilan dari dua belah pihak dan usaha-usaha yang lainnya.

Demikian juga tatkala seorang lelaki hendak mencerai, maka ia tidak boleh mencerai tatkala sang istri sedang haid, atau tatkala sang istri telah bersih/suci akan tetapi ia telah menjimaknya.

Bila ternyata sang istri mendapati sikap buruk pada sang suami maka syari’at membolehkan kepada sang wanita untuk melakukan khulu’ yaitu meminta suami untuk memutuskan akad pernikahan.

Hukum Asal Wanita Meminta Cerai Adalah Haram

Tentunya kita mengetahui bahwasanya asalnya seorang wanita dilarang untuk meminta dicerai.

Nabi shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda:

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 1928, At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan dihahihkan oleh Syaikh Albani)

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang syar’i yang kuat yang membolehkannya untuk meminta cerai. Berkata Abu At-Toyyib Al’Adziim Aabaadi, “Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…((Maka haram baginya bau surga)) yaitu ia terhalang dari mencium harumnya surga, dan ini merupakan bentuk ancaman dan bahkan bentuk mubaalaghoh (berlebih-lebihan) dalam ancaman, atau terjadinya hal tersebut pada satu kondisi tertentu yaitu artinya ia tidak mencium wanginya surga tatkala tercium oleh orang-orang yang bertakwa yang pertama kali mencium wanginya surga, atau memang sama sekali ia tidak mencium wanginya surga. dan ini merupakan bentuk berlebih-lebihan dalam ancaman” (‘Aunul Ma’buud 6/308)

أن الأخبار الواردة في ترهيب المرأة من طلب طلاق زوجها محمولة على ما إذا لم يكن بسبب يقتضى ذلك

“Sesungguhnya hadits-hadits yang datang tentang ancaman terhadap wanita yang meminta cerai, dibawakan kepada jika sang wanita meminta cerai tanpa sebab” (Fathul Baari 9/402)

Silahkan baca kembali artikel “Ceraikan Aku…!!!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

“Para wanita yang khulu’ dari suaminya dan melepaskan dirinya dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 632)

Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk meminta cerai dari suami mereka tanpa ada udzur yang syari’ (lihat At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami’ As-Shogiir 1/607)

Sebab-Sebab Dibolehkan Khulu’

Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta khulu’ (pisah) dari suaminya.

Diantara perkara-perkara tersebut adalah :

1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung

2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.

3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar music, dan lain-lain

4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.

5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain

6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami

7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami

(Silahkan lihat Roudhotut Toolibiin 7/374, dan juga fatwa Syaikh Ibn Jibrin rahimahullah di http://islamqa.info/ar/ref/1859)

Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :

وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها

“Dan kesimpulannya bahwasanya seorang wanita jika membenci suaminya karena akhlaknya atau perawakannya/rupa dan jasadnya atau karena agamanya, atau karena tuanya, atau lemahnya, dan yang semisalnya, dan ia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami maka boleh baginya untuk meminta khulu’ kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk membebaskan dirinya” (Al-Mughni 8/174)

Meminta Cerai Karena Suami Buruk Rupa

Para ulama telah menyebutkan bahwa boleh bagi seorang wanita yang meminta cerai dikarenakan tidak bisa meraih kebahagiaan dikarenakan sang suami buruk rupa. Dalil akan hal ini adalah kisah istri sahabat Tsabit bin Qois yang meminta cerai darinya. Ibnu Abbas meriwayatkan :

أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً

“Bahwasanya istri Tsaabit bin Qois mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, suamiku Tsaabit bin Qois tidaklah aku mencela akhlaknya dan tidak pula agamanya, akan tetapi aku takut berbuat kekufuran dalam Islam”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau (bersedia) mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai maharmu-pen)?”.

Maka ia berkata, “Iya”. Rasulullah pun berkata kepada Tsaabit, “Terimalah kembali kebun tersebut dan ceraikanlah ia !” (HR Al-Bukhari no 5373)

Dalam riwayat ini jelas bahwa istri Tsaabit bin Qois sama sekali tidak mengeluhkan akan buruknya akhlak suaminya atau kurangnya agama suaminya. Akan tetapi ia mengeluhkan tentang perkara yang lain. Apakah perkara tersebut??

Dalam sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa istri Tsabit meminta khulu’ karena buruk rupanya Tsabit.

عن حجاج عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال كانت حبيبة بنت سهل تحت ثابت بن قيس بن شماس وكان رجلا دميما فقالت يا رسول الله والله لولا مخافة الله إذا دخل علي لبصقت في وجهه

Dari Hajjaj dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dan dari kakeknya berkata, “Dahulu Habibah binti Sahl adalah istri Tsaabit bin Qois bin Syammaas. Dan Tsaabit adalah seorang lelaki buruk dan pendek, maka Habibah berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau bukan karena takut kepada Allah maka jika ia masuk menemuiku maka aku akan meludahi wajahnya”. (HR Ibnu Maajah no 2057 dan didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani)

Namun telah datang dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas berkata:

إن أول خلع كان في الإسلام، أخت عبد الله بن أبي، أنها أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله لا يجمع رأسي ورأسه شيء أبدا! إني رفعت جانب الخباء، فرأيته أقبل في عدة، فإذا هو أشدهم سوادا، وأقصرهم قامة، وأقبحهم وجها! قال زوجها: يا رسول الله، إني أعطيتها أفضل مالي! حديقة، فإن ردت على حديقتي! قال:”ما تقولين؟” قالت: نعم، وإن شاء زدته! قال: ففرق بينهما

“Khulu’ yang pertama kali dalam sejarah Islam adalah khulu’nya saudari Abdullah bin Ubay (Yaitu Jamilah bintu Abdullah bin Ubay bin Saluul gembong orang munafiq, dan saudara Jamilah bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Saluul-pen). Ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tidak mungkin ada sesuatu yang bisa menyatukan kepalaku dengan kepala Tsabit selamanya. Aku telah mengangkat sisi tirai maka aku melihatnya datang bersama beberapa orang. Ternyata Tsaabit adalah yang paling hitam diantara mereka, yang paling pendek, dan yang paling jelek wajahnya”

Suaminya (Tsaabit) berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah memberikan kepadanya hartaku yang terbaik, sebuah kebun, jika kebunku dikembalikan, (maka aku setuju untuk berpisah)”. Nabi berkata, “Apa pendapatmu (wahai jamilah)?”. Jamilah berkata, “Setuju, dan jika dia mau akan aku tambah”. Maka Nabipun memisahkan antara keduanya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya (4/552-553, no 3807), tatkala menafsirkan surat Al-Baqoroh ayat 229, dan sanadnya dinilai shahih oleh para pentahqiq Tafsir At-Thobari)

Pertama : Para ulama berselisih tentang nama istri Tsabit bin Qois, apakah namanya Jamilah binti Abdillah bin Ubay bin Saluul ataukah Habibah binti Sahl?. Akan tetapi Ibnu Hajar rahimahullah condong bahwa Tsabit pernah menikahi Habibah lalu terjadi khuluk, kemudian ia menikahi Jamilah dan juga terjadi khulu’ (lihat Fathul Baari 9/399)

Kedua : Dalam sebagian riwayat yang shahih menunjukkan bahwa Tsaabit bin Qois radhiallahu ‘anhu pernah memukul istrinya hingga tangannya patah. Sehingga inilah yang dikeluhkan oleh istri beliau sehingga minta khulu’

Dari Ar-Rubayyi’ bin Mu’awwidz berkata :

أن ثابت بن قيس بن شماس ضرب امرأته فكسر يدها وهي جميلة بنت عبد الله بن أبي فأتى أخوها يشتكيه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى ثابت فقال له خذ الذي لها عليك وخل سبيلها قال نعم فأمرها رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تتربص حيضة واحدة فتلحق بأهلها

“Sesungguhnya Tsaabit bin Qois bin Syammaas memukul istrinya hingga mematahkan tangannya. Istrinya adalah Jamilah binti Abdillah bin Ubay. Maka saudara laki-lakinya pun mendatangi Nabi mengeluhkannya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke Tsabit dan berkata, “Ambillah harta milik istrimu yang wajib atasmu dan ceraikanlah dia”. Maka Tsaabit berkata, “Iya”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Jamilah untuk menunggu (masa ‘iddah) satu kali haid. Lalu iapun pergi ke keluarganya” (HR An-Nasaai no 3487 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ عِنْدَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ بَعْضَهَا فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ فَدَعَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ثَابِتًا فَقَالَ « خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا ».

فَقَالَ وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ فَإِنِّى أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ وَهُمَا بِيَدِهَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُمَا فَفَارِقْهَا ». فَفَعَلَ.

Dari Aisyah bahwasanya Habibah binti Sahl dulunya istri Tsabit bin Qois, lalu Tsabit memukulnya hingga patahlah sebagian anggota tubuhnya. Habibah pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah subuh dan mengadukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang suaminya. Maka Nabi berkata kepada Tsabit, “Ambillah sebagian harta Habibah, dan berpisahlah darinya”

Tsaabit berkata, “Apakah dibenarkan hal ini wahai Rasulullah?”, Nabi berkata, “Benar”. Tsabit berkata, “Aku telah memberikan kepadanya mahar berupa dua kebun, dan keduanya berada padanya”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ambilah kedua kebun tersebut dan berpisalah dengannya”. (HR Abu Dawud no 2230, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dari riwayat-riwayat yang ada, seakan-akan ada pertentangan, karena sebagian riwayat menunjukkan bahwa istri Tsabit meminta cerai karena perangai Tsaabit yang telah memukulnya hingga menyebabkan patah tangan. Dan sebagian riwayat yang lain sangat jelas dan tegas bahwa sang istri tidak mencela akhlak dan agama Tsaabit, akan yang dikeluhkan ada kondisi tubuh Tsaabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa.

Ibnu Hajar menjamak kedua model riwayat diatas dengan menyebutkan suatu riwayat dimana istri Tsabit berkata :

والله ما أعتب على ثابت في دين ولا خلق ولكني أكره الكفر في الإسلام لا أطيقه بغضا

“Demi Allah aku tidak mencela Tsabit karena agamanya dan juga akhlaknya, akan tetapi aku takutkan kekufuran dalam Islam, aku tidak sanggup dengannya karena aku membencinya” (HR Ibnu Maajah no 1673 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

لكن تقدم من رواية النسائي أنه كسر يدها فيحمل على أنها أرادت أنه سيء الخلق لكنها ما تعيبه بذلك بل بشيء آخر … لكن لم تشكه واحدة منهما بسبب ذلك بل وقع التصريح بسبب آخر وهو أنه كان دميم الخلقة

“Akan tetapi telah lalu dalam riwayat An-Nasaai bahwasanya Tsaabit mematahkan tangan sang istri, maka dibawakan kepada makna bahwasanya sang istri ingin mengatakan bahwa Tsabit buruk akhlaknya akan tetapi ia tidak mencela Tsaabit karena hal itu, akan tetapi karena perkara yang lain…tidak seorangpun dari kedua istrinya (Jamilah maupun Habibah) yang mencela Tsabit karena “sebab mematahkan tulang”, akan tetapi telah datang penjelasan yang tegas akan sebab yang lain, yaitu perawakan Tsaabit buruk” (Fathul Baari 9/400)

Dari sinilah para ulama menyatakan bahwa diantara salah satu sebab yang membolehkan seorang wanita meminta khulu’ adalah jika sang suami buruk rupa, dan sang istri sama sekali tidak bisa mencintai sang suami. Dan jika sudah tidak cinta maka sulit untuk meraih kebahagiaan dan kasih sayang yang merupakan salah satu dari tujuan pernikahan. Wallahu A’lam.

Yang mengherankan saya dari pertanyaan yang ditujukan kepada saya di atas, bahwasanya bagaimana bisa muncul pernyataan bahwa sang suami jelek setelah berjalannya pernikahan selama 17 tahun??

Dzohir dari pertanyaan di atas bahwasanya sang suami tidaklah jelek-jelek amat, tidak sebagaimana yang disebutkan tentang Tsabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa, bahkan paling hitam, paling pendek, dan paling buruk diantara teman-temannya (sebagaimana pengakuan istrinya Jamilah).

Buktinya…pernikahan mereka berdua bisa berjalan selama 17 tahun, bahkan berhasil memiliki seorang anak setelah melalui usaha susah payah… Ini menunjukan –wallahu A’lam- bahwa sang suami bukanlah seorang yang buruk rupa, akan tetapi menjadi buruk rupa setelah sang istri mulai menjalin hubungan dengan lelaki lain…

Oleh karenanya hendaknya sang istri takut kepada Allah dan takutlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at…dan hendaknya sang suami bersabar dan banyak berdoa kepada Allah agar istrinya kembali menjadi baik. Dan jika memang sang istri keras kepala dan menghina sang suami dengan menyatakan wajahnya jelek, maka saya rasa masih banyak wanita yang lebih sholehah dan lebih baik dari seorang istri pengkhianat yang menjalin hubungan dengan lelaki lain. Hanya kepada Allalah kita meminta agar menumbuhkan kasih sayang diantara pasangan suami istri dari kaum muslimin…hanya kepada Allahlah tempat mengadu dan berkeluh kesah.

Abu Abdil Muhsin Firanda

Konsultasi Bimbingan Islam

Ustadz Rosyid Abu Rosyidah

Referensi: https://bimbinganislam.com/istri-minta-cerai-kepada-suami-yang-kasar-dan-buruk-rupa/

darulmaarif.net – Indramayu, 02 Juni 2024 | 01.00 WIB

Judi Online makin mereshakan banyak pihak. Perjudian, dalam ragam bentuk dan jenisnya tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga merugikan orang lain. Lebih-lebih Judi Online, tidak hanya merugikan orang di sekitar, tapi berdampak massif dan berskala nasional merugikan negara. Bagi yang sudah berkeluarga, Judi Online berdampak mengganggu stabilitas ekonomi keluarga, bahkan bisa sampai merusak keharmonisan rumah tangga pasangan suami istri.

Dalam konteks rumah tangga, judi online yang dilakukan suami seseringkali menjadikan istri dan anak sebagai korban. Kerapkali bagi suami yang kecanduan Judi online tidak memberikan nafkah untuk anak dan istri, uang yang semestinya dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga malah dipakai untuk main judi.

Dampak buruk lain yang sering terjadi akibat suami kecanduan judi online cenderung tempramental dan mudah marah. Akibatnya, istri dan anak bisa jadi korban pelampiasan dari suami yang kalah dari judi online.

Lantas, menanggapi hal dmeikian muncul pertanyaan: bagaimana hukumnya seorang istri yang menggugat cerai dengan alasan suami yang kecanduan judi online?

Menurut tinjauan Fikih, hak talak hanya ada pada suami. Namun demikian, istri masih mempunyai hak mengajukan gugatan cerai. Hal ini tidak lain untuk memberikan perlindungan kepada pihak perempuan atau istri dari bahaya yang mungkin mengancamnya.

Gugatan cerai yang dilakukan pihak istri kepada suami disebut sebagai khulu’. Khulu’ pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali bila memenuhi persyaratan yang dibenarkan menurut hukum syara’.

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Zaid] dari [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [Abu Asma] dari [Tsauban] ia berkata, “Rosululloh Saw bersabda: “Wanita mana saja yang minta cerai kepada suaminya bukan karena alasan yang dibenarkan, maka ia tidak akan mendapatkan bau surga.” (HR. Imam Ibnu Majah)

Adapun alasan-alasan yang dibenarkan agama adalah sebagaimana yang disampaikan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni,

وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه

Artinya: “Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Alloh dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, VII/323)

Dengan alasan suami kecanduan judi online, istri diperbolehkan melakukan gugatan cerai (khulu’) dengan alasan buruknua akhlak dan agama suami, atau alasan tidak diberi nafkah. Hal ini sebagaimana diterangkan Syekh Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya, Asnal Matholib, sebagai berikut:

وَيَصِحُّ فِي حَالَتَيْ الشِّقَاقِ وَالْوِفَاقِ وَذِكْرُ الْخَوْفِ فِي الْآيَةِ جَرَى عَلَى الْغَالِبِ. (وَلَا يُكْرَهُ عِنْدَ الشِّقَاقِ أَوْ) عِنْدَ (كَرَاهِيَتِهَا لَهُ) لِسُوءِ خُلُقِهِ أَوْ دِينِهِ أَوْ غَيْرِهِ (أَوْ) عِنْدَ خَوْفِ (تَقْصِيرٍ) مِنْهَا (فِي حَقِّهِ) أَوْ عِنْدَ حَلِفِهِ بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ مِنْ مَدْخُولٍ بِهَا عَلَى فِعْلِ مَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْ فِعْلِهِ وَذَلِكَ لِلْحَاجَةِ إلَيْهِ وَلِلْخَبَرِ السَّابِقِ فِي خَوْفِ التَّقْصِيرِ قَالَ فِي الْأَصْلِ وَأَلْحَقَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ بِذَلِكَ مَا لَوْ مَنَعَهَا نَفَقَةً أَوْ غَيْرَهَا فَافْتَدَتْ لِتَتَخَلَّصَ مِنْهُ انْتَهَى

Artinya, “Dan khulu’ sah dilakukan baik dalam kondisi perselisihan maupun dalam kondisi damai, meskipun dalam ayat disebutkan tentang ketakutan, hal itu berlaku pada kebanyakan kasus.

Khulu’ tidak dimakruhkan dalam kondisi perselisihan atau ketika istri membenci suaminya karena keburukan akhlaknya, agamanya, atau hal lain, atau ketika istri khawatir tidak dapat memenuhi hak-hak suami, atau ketika suami bersumpah dengan tiga talak pada istri yang telah digauli untuk melakukan sesuatu yang harus dilakukannya karena kebutuhan, dan berdasarkan hadits yang disebutkan sebelumnya tentang ketakutan akan ketidakpatuhan.

Hal ini disebutkan dalam kitab asal . Syekh Abu Hamid menyamakan dengan kasus ini jika suami menahan nafkah atau hak-hak lainnya, sehingga istri menebus dirinya untuk membebaskan diri darinya.” (Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhut Thalib, [Beirut, Dar Kutub Islami], juz III, halaman 241).

Dapat disimpulkan bahwa seorang istri boleh menggugat atau meminta cerai kepada suami yang kecanduan judi online dengan memberikan sejumlah kompensasi (‘iwadh) karena seorang yang kecanduan judi online dapat dipastikan akhlak dan agamanya buruk.

Hal ini dilakukan demi melindungi hak-hal istri dari perlakuan tidak baik dari suami. Terlebih, jika suami memang sudah kecanduan judi online dan sulit dinasehati bahkan kerap bertindak kasar pada istri. Tentunya pilihan cerai merupakan opsi terkahir jika langkah-langkah optimal perbaikan sudah ditempuh sedemikian rupa.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

Rumah tangga yang harmonis adalah dambaan bagi setiap pasangan suami istri. Namun, terkadang hadir permasalahan yang dapat mengganggu keharmonisan tersebut. Salah satu permasalahan yang saat ini bisa dijumpai di zaman digital adalah kecanduan judi online pada suami. Judi online yang awalnya mungkin hanya dianggap sebagai hiburan, lama kelamaan bisa berakibat fatal.

Dampak negatif dari kecanduan judi online tidak hanya dirasakan oleh pelakunya sendiri, tetapi juga bisa meluas dan mempengaruhi kehidupan keluarganya. Istri yang tadinya memiliki harapan untuk membangun masa depan bersama suami, bisa jadi terpuruk karena perilaku tersebut. Mulai dari masalah keuangan keluarga yang terganggu, pertengkaran yang terus menerus, hingga hilangnya rasa percaya antara suami dan istri.

Lantas bolehkah istri menuntut perceraian karena suami kecanduan judi online?

Dalam literatur Islam, tuntutan talak (perceraian) dari pihak istri dikenal dengan istilah Khulu’. Khulu’ adalah tuntutan perceraian dari pihak istri dengan kompensasi yang diberikan kepada suami. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Al Fiqh Al Manhaji juz 4 halaman 127 berikut:

وهو كل فُرْقةٍ جرت على عوض تدفعه الزوجة للزوج

Artinya: “Khulu’ adalah setiap talak (perceraian) dengan adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami.”

Terkait hukum Khulu’, ulama cenderung memperbolehkannya, baik Khulu’ itu terjadi karena adanya perselisihan dari kedua pasangan atau dengan jalan kesepakatan tanpa adanya perselisihan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Al Mausuah Al Fiqhiyyah juz 19 halaman 240 berikut:

يَصِحُّ الْخُلْعُ فِي حَالَتَيِ الشِّقَاقِ وَالْوِفَاقِ، ثُمَّ لَا كَرَاهَةَ فِيهِ إِنْ جَرَى فِي حَال الشِّقَاقِ، أَوْ كَانَتْ تُكْرَهُ صُحْبَتُهُ لِسُوءِ خُلُقِهِ، أَوْ دِينِهِ

Artinya: “Khulu’ boleh terjadi baik dalam keadaan perselisihan atau adanya kesepakatan, kemudian tidak ada hukum makruh ketika Khulu’ terjadi dalam keadaan perselisihan, atau istri membenci suami karena buruk akhlak dan agamanya.”

Senada dengan hal ini, dalam kitab Raudatut Thalibin Wa Umdatu Al Muftin juz 7 halaman 374 dijelaskan bahwa seorang istri diperbolehkan menuntut Khulu’ kepada suami karena sebab akhlak, agama, dan lain lain, penjelasan lengkapnya sebagai berikut:

أَنَّ الْمَرْأَةَ إذَا كَرِهَتْ زَوْجَهَا، لِخَلْقِهِ، أَوْ خُلُقِهِ، أَوْ دِينِهِ، أَوْ كِبَرِهِ، أَوْ ضَعْفِهِ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ، وَخَشِيَتْ أَنْ لَا تُؤَدِّيَ حَقَّ اللَّهَ تَعَالَى فِي طَاعَتِهِ، جَازَ لَهَا أَنْ تُخَالِعَهُ بِعِوَضٍ تَفْتَدِي بِهِ نَفْسَهَا مِنْهُ

Artinya: “Seorang istri ketika ia membenci suaminya disebabkan akhlaknya, fisiknya, agamanya, umurnya, kelemahannya dan lain lain dan si istri takut tidak menjalankan ketaatan kepada Allah swt, maka boleh bagi istri menuntut Khulu’ kepada suami dengan kompensasi untuk menebus dirinya.”

Dengan demikian secara hukum Islam, tuntutan perceraian dari pihak istri karena sang suami kecanduan judi online adalah diperbolehkan. Mengingat di samping judi online dilarang keras dalam agama, dampak negatif dari kecanduan judi online sangat merugikan bagi kelangsungan bahtera rumah tangga. Wallahu a’lam bis shawab.

Ahmad Yaafi KholilurrohmanPenikmat Insight Keislaman, Alumni Ma'had Aly Situbondo, Jawa Timur